Home | Berita Opini | Peta Wisata | Wisata Alam | Seni Pertunjukan | Wisata Belanja | Wisata Bahari | Wisata Budaya | Wisata Boga | Wisata Museum | Wisata Religi | Wisata Sejarah | Cerpen
Share/Save/Bookmark

Prabu Aridarma


Kisah Prabu Aridarma merupakan karya sastra lama terdapat dalam buku Tanri Kamandaka, bertulisan Jawa dan Bahasa Jawa Tengahan, berbentuk prosa. Sumber buku Tanri Kamandaka adalah buku Pancatantra di India yang ditulis dalam bahasa Sanskerta.

Ada perbedaan sedikit antara buku Pancatantra dengan buku Tanri Kamandaka. Buku Pancatantra dimulai dengan kisah seorang raja yang berputera beberapa orang. Putera raja tersebut sangat bodoh. Maka sang raja menyerahkan putera-puteranya itu kepada seorang pendeta agar dididik menjadi orang yang berguna. Cara pendeta mendidik putera-putera raja itu denganmendongeng tentang cerita hewan setiap malam.sedang buku Tanri Kamandaka dimulai seperti cerita 1001 malam di Irak. Dalam cerita 1001 malam dikisahkan seorang raja yang setiap malam kawin dengan gadis (perawan) yang kemudian dibunuhpada pagi harinya. Gadis seluruh negeri habis, sehingga patih berduka cita karena akan dibunuh jika tidak dapat menghaturkan gadis di sore hari.

Puteri patih kerajaan itu tahu ayahandanya berduka cita, maka bersedia diserahkan kepada rajanya. Setelah puteri patih itu diserahkan kepada sang raja, ia bersedia dikawininya dengan persyaratan. Persyaratan itu ialah sebelum dikawini agar diperbolehkan bercerita kepada adiknya yang ikut serta ke istana raja, karena sang puteri tahu akan mati di pagi harinya. Sang raja mengabulkan permohonan itu. Maka sang puteri patih mulai bercerita di depan adiknya dan sang raja ikut mendengarkan. Sang raja sangat tertarik pada cerita tersebut dan sang puteri selalu menutup cerita itu dengan pesan “Dik, besok malam kakak akan bercerita lebih bagus lagi!”

Mendengar pesan akhir cerita itu, sang raja lalu berpikir, bahwa sang puteri belum akan dikawini dan dibunuh karena masih ingin mendengar ceritanya. Demikianlah cerita itu sampai 1001 malam dan sang raja sadar akan kekhilafannya, sehingga ia menjadi raja yang arif bijaksana.

Salah satu cerita itu tentang lampu aladin.
Di dalam buku Tanri Kamandaka, puteri patih itu bernama Dyah Tanri. Bedanya dengan cerita 1001 malam, yaitu Dyah Tanri bercerita kepada sang raja dan sang raja tertarik. Berdasarkan alur cerita buku Pancatanra maupun buku Tanri Kamandaka dapat digolongkan cerita klise karena alur cerita hampir sama di beberapa wilayah belahan dunia. Atau dapat digolongkan cerita berbingkai, yaitu tokoh dalam cerita bercerita. Berdasar macam ragam cerita di dalamnya, buku Tanri Kamandaka dapat disebut kumpulan cerita pendek tentang binatang seperti Jerat Kancil.

Buku Tanri Kamandaka telah banyak diulas oleh ahli sastra bangsa Belanda maupun ahli sastra bangsa Indonesia. Cerita terakhir buku Tanri Kamandaka yang cukup lucu yang telah diulas oleh Prof. Dr. R.M. Ng. Poerbatjaraka dalam bukunya Kapustakaan Djawi diterbitkan oleh Penerbit Djambatan, Jakarta, 195 (cetakan ketiga) dalam bahasa Jawa yang ringkasnya sebagai berikut:

Ada seorang raja bernama Prabu Aridarma mempunyai kesukaan berburu bintang di hutan. Prabu Aridarma terkenal seorang raja yang arif bijaksana dan bertindak adil kepala seluruh rakyat. Pada suatu waktu sang prabu Aridarma berburu di hutan. Dalam perjalanannya di hutan, ia melihat puteri naga bernama Nagimi berbuat kurang terpuji bersama ular biasa (ular kelas bawah). Sang Prabu Aridarma dalam hati berkata: “Lho, sangat rendah kelakuanmu Nagimi, engkau adalah puteri naga yang terhormat, mengapa berbuat tidak terpuji bersama ular kebanyakan. Perbuatanmu itu berarti merusak tata cara yang berlaku. Aku tidak dapat lepas dari tanggung jawabku sebagai raja berpegang pada kebenaran. Perbuatan demikian itu adalah keliru!”

Maka ular kebanyakan itu dibunuh, sedangkan Nagimi dicambuk.

Dalam tatanan kemasyarakatan waktu itu terdapat empat tingkatan dari atas ke bawah yaitu kasta brahmana, ksatria, waisa dan sudra. Di luar empat kasta itu terdapat kasta paria, kelas terndah. Demikian pula dalam masyarakat hewan. Dalam perkawinan tidak diperbolehkan menyeberang dari kasta masing-masing.

Setelah dicambuk, Nagimi lari pulang sambil menangis. Ia mengadu kepada ayahnya Nagaraja. Ayahnya bertanya, “Mengapa engkau menangis ananda?”

Nagimi menjawab: “Ayahanda, saya tadi melihat seorang maharaja bernama Prabu Aridarma berburu di dalam hutan. Maharaja itu terus memandangku tanpa berkedip. Aku dibujuk-bujuk, tapi aku tidak bersedia. Raja itu terus memaksaku, maka aku terus berlari, dia mengejar, kemudian aku dicambuk, disakiti, maka aku menangis.”

“Jangan menangis lagi puteriku. Sabarlah, tidak perlu ananda bersedih. Sebentar lagi Prabu Aridarma akan kubunuh!” jawab Nagaraja meredakan tangis puterinya.

Seketika itu Nagaraja menyamar berupa seorang brahmana dan berangkat menuju istana Prabu Aridarma. Setelah sampai di istana kerajaan, ia berganti rupa naga kembali dengan badan dikecilkan. Kemudian ia bersembunyi di bawah peraduan Prabu Aridarma. Pada waktu itu Prabu Aridarman baru istirahat di peraduan bersama permaisurinya, Dewi Majawati.

Dewi Majawati memandang suaminya yang sedang gelisah. Maka Dewi Majawati bertanya: “Baginda raja, kulihat tidak secerah seperti biasanya. Apa gerangan yang mengganggu dalam pikiran. Bolehkah adinda mengetahui sebabnya?”

Jawab Prabu Aridarma: “Adinda tidak perlu salah duga. Tadi siang saya berburu kijang di tengah hutan. Dalam perjalananku di tengah hutan kulihat puteri naga berlaku seong. Apa seharusnya puteri naga bercengkerama dengan ular-ular biasa. Laku perbuatan semacam itu tidak pantas dilakukan oleh puteri naga. Perbuatan itu sama dengan brahmana kawin dengan kaum sudra. Hal ini berati merusak “kawangsan” (tatanan). Seandainya puteri naga bukan puteri Nagaraja, maka tidak jadi masalah atau sewajarnya. Oleh karena itu ular-ular biasa kubunuh dan Nagimi kucambuk. Demikianlah adinda, semua itu masih mengganggu pikiranku!”

Sang Nagaraja yang bersembunyi di bawah peraduan Prabu Aridarma berkata dalam hati: “Kalau begitu Nagimi anakku yang salah laku perbuatannya. Itulah yang disebut anak mempermalukan orangtua. Ternyata benar Sang Prabu Aridarma menempatkan diri sebagai raja berbudi luhur yang selalu berusaha membasmi perbuatan tercela di arcapada”.

Kemudian Nagaraja keluar dari bawah peraduan sang raja dan kembali berwajah brahmana lagi. Pada waktu itu kedudukan brahmana sangat tinggi dan raja pun menghormatinya. Maka Prabu Aridarma menerima dengan hormat kedatangan sang brahmana.

Kata sang brahmana atas penghormatan Prabu Aridarma: “Bagiana Raja, saya adalah orang tua Nagimi yang Baginda cambuk tadi siang karena berbuat tidak senonoh, sudah menjadi kewajiban Baginda untuk menghukum siapa pun yang bersalah. Sebagai tanda terima kasih, hamba persilahkan Paduka mengemukakan apa yang dikehendaki. Segala kehendak Paruka Raja, hamba akan mengusahakan.”

Jawab Prabu Aridarma: “Saya ingin mengetahui bahasa binatang. Alangkah baiknya saya sebagai raja dapat mengetahui semua pembicaraan, keluh kesah, kesulitan dan lain-lain dari seluruh rakyatku termasuk binatang.”

“Baiklah, Sang Prabu, akan kuberikan ilmunya. Tetapi semua ilmu ada pantangannya. Ilmu tersebut pantang diberitahukan kepada orang lain. Apabila dilanggar, maka Sang Prabu akan meninggal!”

Prabu Aridarma menyanggupi, kemudian “diwejang” oleh sang Brahmana. Setelah semuanya cukup, maka pulanglah sang brahmana.

Pada suatu malam Prabu Aridarma bercumbu rayu dengan permaisurinya Dewi Majawati. Ada seekor cecek betina di langit-langit ruang melihat Prabu Aridarma bercumbu rayu. Cecak betina itu berkata: “Alangkah senangnya kalau aku dirayu oleh suamiku seperti rayuan Prabu Aridarma pada permaisurinya. Aduh-aduh, seberapa bagahianya hari Dewi Majawati itu. Tidak seperti remuknya hatiku, disepelekan oleh suami, tidak dicintai, ditunggui pun tidak pernah. Lain halnya Sang Prabu Aridarma sangat cinta kasih kepada permaisurinya.”

Prabu Aridarma tersenyum mendengar kata-kata cecak betina yang memelas itu, melihat suaminya tersenyum, Dewi Majawati bertanya: “Bagianda Raja, apa gerangan yang Baginda tertawakan. Hati adinda merasa khawatir, mungkin ada kekurangan pada diri hamba?”

“Tidak ada apa-apa adinda, aku hanyalah tertawa begitu saja!”

“Hamba ingin tahu Baginda” desak permaisuri.

“Jangan adinda, sebab apabila kuberikan padamu, aku akan meninggal!”

“Kalau bergitu lebih baik hamba yang meninggal daripada tidak diberitahu hal yang sebenarnya!”

Akhirnya Prabu Aridarma memerintahkan pada permaisurinya: “Baiklah, kalau memang adinda memaksa harus kuberitahu. Kuminta agarpara punggawa kerajaan diperintah menyediakan tumangan (api unggun), panggung dan sesajian untuk obong (Bakar diri)!”

Kemudian para punggawa istana menyediakan tumangan, panggung, sesajian. Prabu Aridarma menyediakan sedekah kepada para pendeta, brahmana, resmi. Semua harta benda kerajaan dikuras untuk sedekah.

Setelah api tumangan menyala-nyal, Prabu Arudarma bergandengan tangan dengan permaisuri Dewi Majawati naik panggung. Ketika itu muncul sepasang kambing dari semak-semak mendekati tumangan yang menyala-nyala. Pinta kambing betina, Wiwitan kepada jantannya: “Pak tolonglah ambilkan janur kuning dekat tumangan itu. Janur kuning akan kumakan karena aku sedang hamil muda dan ngidam. Alangkah segarnya badanku apabila makan janur kuning. Cepatlah pak, ambilkan!”

Jawab kambing jantan, Benggali: “Apakah engkau tidak mengerti? Coba pikir Lihatlah, para penjaga tumangan pegang keris, pedang, tombak, gada dan macam-macam senjata lainnya. Apa jadinya aku apabila mengambilnya?” Kambing betina berkata dengan ancaman: “Kalau bergitu kamu tidak cinta padaku. Lebih baik aku mati daripada tidak kesampaian maksudku!”

Mendengar ancaman isterinya, kambing jantan tidak mau kalah gertak dan berkata: “Silahkan mati, mengapa aku harus susah kalau engkau mati, saya mau kawin lagi dengan yang lain. Saya tidak sudi seperti yang lain. Saya tidak sudi seperti Prabu Aridarma menuruti permintaan yang tidak semestinya dari permaisuri. Sikap demikian itu bukan laki-laki berjiwa ksatria. Orang laki-laki berjiwa ksatria selalu tahu dan membela kebenaran, mencintai isteri, tetapi tidak perlu susah apabila isterinya tidak cinta lagi. Lihatlah diriku yang berupa binatang ini. Aku tidak dapat meniru niat Prabu Aridarma. Haruskah aku menuruti maksudmu yang salah itu?”

Prabu Aridarma tersentuh hatinya mendengar sindiran Benggali mengumpat isterinya, Wiwitan. Dalam hati ia berkata: “Benar juga kata kambing jantan itu. Kalau demikian saya merasa rendah dan kalah dengan kambing di Benggali itu. Memang tidak sepantasnya permintaansi Wiwitan!” Demikianlah Prabu Aridarma merasa: “Binatang saja tidak asal menurutipermintaan betinanya, sedangkan saya adalah raja besar dan terhormat. Kalau saya harus menuruti kehendak isteri saya saya tidak benar, kemudian siapa yang masih sudi menghormati kekuasaanku. Si Benggali berupa binatang saja mempunyai kepribadian kuat.”

Akhirnya Prabu Aridarma tidak jadi mati “obong” dan tidak membertahu pada permaisuri tentang bahasa binatang. Namun semua sajian dan harta istana untuk sedekah tetap dilaksanakan sebagai rasa syukur. Dewi Majawati dan Wiwitan tetap terjun masuk tumangan.

Banyak cerita lama yang mengandung contoh tauladan yang baik. Silahkan menggali hasil peninggalan budaya bangsa kita yang mempunyai nilai luhur.

Sumber :
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1996. Aneka Ragam Hkasanah Budaya Nusantara VII. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

0 komentar:

Posting Komentar